Suatu sore, seorang pemuda Indonesia yang tengah berlibur
dari aktifitas kuliahnya bergegas menuju sebuah masjid, ia tak ingin tertinggal
shalat jama’ah.
Selepas shalat, ia berbincang ringan dengan pengurus masjid
itu, diungkapkan keinginannya untuk bisa mengisi waktu luang dengan menuntut
ilmu keislaman yang kelak akan menjadi bekalnya berdakwah di tanah air.
Pengurus masjid itu kemudian memeperkenalkannya dengan
seseorang yang juga adalah aktifis dakwah. Usai perkenalan, mereka sepakat
untuk datang ke sebuah desa yang insyaAllah
kondusif untuk belajar.
Dalam perjalanan dengan mobil mereka berhenti untuk sekedar
membeli minum dan beberapa ikan ukuran besar yang nanti akan dimasak untuk
makan malam. Pemuda Indonesia itu mengangsurkan beberapa lembar uang pada
penjualnya, tapi sang penjual menggeleng, tersenyum sambil memandang sang
aktifis “Biarkan kami memuliakan tamu yang hendak datang untuk menunut ilmu.”, pemuda
itu tersenyum, ia masih sungkan menerima begitu banyak belanjaan tanpa
mebayarnya sepeser pun.
Perjalanan kembali berlanjut, ia masih heran tapi diliputi
kekaguman. Sampai di desa yang dimaksud, sang aktifis memparlihatkan beberapa
tempat usaha penduduk sekitar, pabrik tenun, bengkel, industri makanan dan
lainnya, kemudian mereka beristirahat di sebuah rumah, seseorang dengan segera
meberinya pakaian bersih, dan ia kemudian membawa pergi pakaian kotor milik
sang pemuda.
Tak berapa lama makan malam telah siap, pemuda Indonesia itu
keluar kamar dan mendapati belasan orang telah duduk melingkar menyambutnya, ia
kemudian duduk, dihadapannya sebuah piring dengan potongan ikan telah tersaji,
ia meraih piring itu dan seseorang di sebelahnya dengan cepat mengambil
priringnya, menggantinya dengan piring lain berisi potongan ikan yang telah
dibersihkan duri-durinya, kemudian beberapa orang mendekatinya, mereka hendak
menyuapi pemuda itu, ia canggung sekali sampai kemudian mereka berkata “Kami melakukan
ini untuk memuliakan tamu kami.” MaasyaAllaah...
Subuh datang, pakaian kotornya telah bersih dan wangi,
terlipat rapi di sebelah ranjangnya,rasa herannya kian bertumpuk. Ia bersiap
dan kemudian menuju masjid yang telah penuh sesak oleh para laki-laki yang
hendak shalat dan mengikuti kajian hingga isya nanti .
Kajian pertama hingga jelang dzuhur itu penuh kebahagiaan,
sang ustadz dengan sangat piawai menceritakan segala keindahan surga, sangat
detail sehingga jama’ah seakan bisa melihat dan merasakannya, lengkung-lengkung
senyum tergambar jelas, semangat mereka terpancar dihiasi optimisme untuk
meraihnya.
Setelah shalat, kajian itu berlanjut, haru, banyak tangis
tersedu hingga yang mengguncang bahu, hingga isaknya terdengar sangat
memilukan, dari kejauhan mereka seakan kawanan lebah yang terganggu, berdengung
menakutkan, kali itu, neraka dengan segala azabnya digambarkan begitu nyata,
membuat mereka seakan tengah digiring masuk kedalamnya. Hari itu berakhir
dengan uraian air mata yang tak kering hingga jelang subuh, para lelaki
melanjutkan ‘itikaf sambil membaca Al-Quran.
Esok paginya, 22 pemuda terbagi menjadi dua kelompok, mereka
akan berolah raga sambil bermain bola, pemuda Indonesia pun turut serta.
Beberapa menit permainan dimulai, pemuda Indonesia itu berhasil membobol gawang
lawan, ekspresi kemengannya urung ia perlihatkan karena sedetik kemudian
setelah ia mencetak gol, lawan-lawannya berhamburan, memeluk tiap anggota tim
pemenang sambil meneriakkan takbir berkali-kali, mereka bahagia sekali
‘saudaranya’ unggul.
Berkali-kali saat bola masuk gawang mereka melakukan hal
yang sama : memeluk para pemenang dan meneriakkan takbir dengan senyum yang
bahagia. Aneh.
Hingga masa liburnya berakhir, tak ada lagi tumpukan rasa
heran, yang ada hanyalah kekaguman atas akhlak yang luarbiasa indah dari
penduduk desa yang menerimanya sebagai thalib
al-ilmi, sesuatu pelajaran amat berharga yang jauh lebih menghujam
dibanding sekedar teori.
Pemuda Indonesia itu kini tahu, bahwa selama ini dia berada
di desa yang memiliki budaya mengamalkan Al-Quran yang mayoritas penduduknya adalah hafidz,
bahkan pabrik-pabrik dan bengkel yang kemarin ia lihat ternyata dinamai dari
kosakata Al-Quran. Subhanallaah...
Mengenang
ukhuwah ayah di Negeri Kinanah
16-10-13 00:52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar