Pages

Kamis, 22 Agustus 2013

Masjidku Super Menyenangkan Part1



Mataku tak bisa terpejam, shalatku penuh ide, maasyaAllaah... Jika semangatku sedang memuncak hampir pasti tidurku berantakan...Aaah, masjid, kali ini ialah sumber insomnia ku.

Dulu, saat jiwa ragaku berpetualang di zaman Sekolah Dasar, masjid adalah tempat yang paling menyenangkan. Libur sekolah sering kali kuhabiskan dengan ‘nyantri kilat’ di beberapa masjid, senang, senang, senang, itulah citra masjidku dulu.

Masjid Daarussalaam adalah masjid pertamaku mereguk lezatnya ilmu, lokasinya berada di tengah padat rumah-rumah yang tak beraturan karena tak ada bisnis properti disana,  Margacinta nama daerahnya.

Kawan, masjid pertamaku menyenangkan sekali, niatku dulu adalah bertemu orang-orang yang menyenangkan, tak sedikitpun bayanganku untuk bisa membaca Al-Quran saat itu. Ikhwan pertamaku (udah baca, kan?) saat itu masih SMA, bersama para tetangga dan beberapa teman satu sekolahnya, ba’da magrib  mereka memadati masjidku, menjadi pusat lingkaran besar–besar yang riuh rendah mengeja setiap huruf keriting yang aneh, tulisan arab dalam buku hitam bermerek IQRA.

Setiap sekali seminggu, kami para bocah berbaris-baris rapi berhimpit-himpit karena tak ingin si setan mengisi barisan. Pelajaran shalat yang juga menyenangkan, imam pura-pura yang memimpin kami adalah pergiliran, maka kami sekuat tenaga menghafal bacaannya agar tak malu saat menjadi imam pura-pura itu.  Para pengajar, melangkah pendek-pendek, mengitari posisi kami yang sedang duduk diantara dua sujud dan tahiyat akhir yang susah sekali- kenapa sih kakinya harus dilipet-lipet?

Sekali setiap minggu pula, pelajaran khusus bertema : Games mengocok-ngocok perut kami. Berbaris berhadapan, saling suwit dan lempar pertanyaan yang berakhir hukuman request dari kelompok pemenang :  praktek jadi mongki, baca hafalan surat atau do’a, atau berdiri mematung tanpa dihiraukan siapapun, tak mengerjakan apa-apa. Dan kadang kami tertawa sekaligus malu luarbiasa jika kalah dalam perang pertanyaan itu.

Tiba Ramadhan, masjidku makin seru dengan program sanlat. Ba’da subuh kami diwajibkan mendengar ceramah dengan mata terkantuk-kantuk, menuliskan poin-poinnya dan berebut meminta tandatangan bapak penceramah, kami tak peduli materi ceramahnya, yang penting lembar-lembar tugas itu penuh terisi meski dengan mencontek :D.
Selesai ashar berjama’ah kami kembali berkumpul, mengaji dan mengikuti berbagai perlombaan yang telah dirancang kakak-kakak pengajar : lomba MTQ, hafalan surat, Adzan, puisi, bikin kartu lebaran, dan nasyid.

Team nasyidku, Firdaus, terdiri dari tiga personel ikhwan dan dua akhwat yang tega sekali memukul-mukul bulatan kayu berbalut kulit, aku ditunjuk sebagai vokalis karena tak ada alasan lain : akulah satu-satunya yang hafal banyak lagu nasyid, bukan karena suaraku yang bagus, kawan :D.

Adzan magrib, kami sholat berjama’ah. Usai shalat, kami mengumpulkan sandal-sandal dalam lingkaran kapur yang dijaga seorang ‘kucing’ dan kami berusaha merebut sandal-sandal itu, sampai saat ini aku tak tahu nama permainan itu.

Shalat isya, kami kembali berjama’ah, berlanjut tarawih dua puluh tiga raka’at yang sering tak lengkap karena kami kelelahan dan tertidur. Saat bangun untuk sahur, aku sudah ada di rumah, tak tahu apa yang terjadi saat tarawih, ternyata guruku, teh Yati menggendongku sampai ke rumah :D.

Subuh kembali, seperti biasa, kami terkantuk-kantuk menyimak kuliah subuh itu, tapi kami tak sabar menanti kejutan-kejutan lain dalam perlombaan nanti sore.

Terbayangkah, kawan? Maka setiap hari, Ramadhan kami menjadi sangat berarti, tak ada kesia-siaan karena kami sibuk berlatih, menghafal, dan saling bersaing untuk bisa jadi yang terbaik.

Akhir-akhir Ramadhan kami, para juara berdebar-debar karena hadiah berbungkus kertas cokelat banyak sekali. Setiap kali sang juara perlombaan maju untuk mendapat hadiah, kami bersuit-suit, mengacung-ngacungkan tangan sambil bertakbir. Selain hadiah, sertifikat penghargaan pun menjadi kenang-kenangan tak terlupakan hingga saat ini, maka buatku, sertifikat itu menumpuk hingga kini karena akulah yang paling bernafsu untuk mengikuti hampir setiap perlombaan :D. Dan kawan, jangan fikirkan biaya kegiatan itu, kami tak tahu menahu, semuanya gratis.

Begitulah, masjidku menjadi tempat yang paling dirindukan setiap hari, bahkan saat hujan deras mengguyur, kami rela berbasah-basah untuk sampai di tempat menyenangkan itu. Kawan, mungkin itulah makna ‘makmur’ yang sebenarnya, para pemuda yang mencintai masjid sesungguhnya sedang dicetak dalam proses ‘menyenangkan’ itu.  Maka menurutku _KOREKSI AKU JIKA SALAH_, tak salah jika kau ‘bersenang-senang’ bersama murid-muridmu di masjid, buatlah proses belajar mengenal Allah itu menyenangkan, agar masjid kita kembali ramai dan dicintai, agar kesan indah tentang rumah Allah itu terpatri dalam, agar dimanapun kita berada, kita kan selalu ingin menjadi bagian terbaik yang mendukung dakwah di rumahNya.        

Rabu, 21 Agustus 2013

Selapis Kulit Tempe


Percayakah kau jika kukatakan bahwa kulit kita mirip dengan sekerat tempe? Konyol, mungkin itu jawabanmu.

Aku pun masih sering tersenyum getir jika otakku tiba-tiba memutar kembali kilasan waktu, tentang kulit kita...

Seorang ibu, fisiknya terlihat sehat, sangat sehat bahkan, di dekatnya berkumpul satu dua orang sahabatku, ia bercerita sambil sesekali menunjukkan titik-titik tertentu di lengannya. Tahukah apa yang sedang asyik diceritakannya? Sehari sebelum cerita itu tersiar, sang ibu telah melakukan operasi pengangkatan jamur yang tumbuh disekitar lengannya, aku yang mendengarkan di pojok ruangan benar-benar takut, berkali-kali istighfarku lirih. Sang ibu yang juga penderita Systemic Lupus Erithemathosus telah mengkonsumsi obat-obatan dosis tinggi untuk menahan laju liar penyakitnya, bertahun, dan kondisi tubuhnya semakin baik, dosis tinggi itu kemudian direkomendasikan oleh dokter agar diturunkan kadarnya, tindakan yang benar, hanya saja imun yang telah lama teradaptasi dengan obat pertamanya sedikit 'kaget', ia kembali beradaptasi dengan obat  baru, akibatnya  jamur-jamur tumbuh subur  di kulit sang ibu, maasyaAllaah...

Apa pendapatmu kawan? Mungkin kau tak akan percaya, tapi aku yang juga sempat berkait erat dengan penyakit itu enam tahun lalu pernah mencicip kelupas eptitel yang juga aneh, seperti tanda-tanda terbakar, pecah dan tentusaja kasar, bahkan seseorang pernah dengan tega menyebut kulitku seperti corak kain batik, ah, ujian yang menyenangkan... Menyenangkan karena dengan ujian itu aku tahu banyak hal tentang diriku sendiri, tentang arti ‘abdullah’, ‘hamba Allah’ yang tak sedikitpun daya dan upaya dimiliki kecuali atas izinNya, tentang makna syukur yang teramat sering luput dan baru terasa begitu nikmat saat tercerabut, syukur, sikap yang benar-benar menjadi identitas menonjol dalam diri seorang muslim di samping sabar yang juga tak kalah berat, maka bagi mereka yang telah mendapat keduanya, tentulah sangat beruntung.

Menjadi hamba berarti menjadi sosok yang dengan mendengar ia taat terhadap tuhannya, tak banyak bicara karena tsiqah, percaya pada kerjaNya yang pasti terbaik, yang pasti tak khianat akan janji, yang pasti meberi ujian sesuai takar mampu hambanya, tak sedikitpun lebih. Maka dengan itu, mereka terlihat tak pernah bersedih meski ujian begitu berat (menurut kita yang melihat), dan aku malu...

Rasa syukur yang menjelma ikhtiar sepenuh rasa mampu meski amat terbatas (lagi-lagi menurut kita yang melihat), rasa syukur yang dengannya setipis apapun kesempatan hidup menjadi benar-benar berharga, teramat berharga karena tiap detik adalah kesempatan membayar surga meski dengan kerja sederhana yang payah, Karena mereka yakin setiap kebaikan sebiji dzarrah pasti berbalas. Dan aku malu...


Aku malu karena tak mampu seperti mereka meski ujianku tak serumit ujian mereka,
Aku malu karena terlalu banyak berkeluh,
Aku malu karena tsiqahku amat payah pada nyeri yang tak seberapa,
Aku malu karena usahaku buntu oleh alasan yang beraneka rupa,
Aku malu karena malasku seringkali menenggelam karya,
Aku benci orang-orang yang bermaksiat meski nyatanya tak ada beda diriku dengan mereka.

Selapis kulit kawan, yang mungkin jarang kita (aku khususnya) tafakuri, adalah nikmat yang luar biasa... Kelak, jadilah ia saksi kita yang mengantar kita ke surga, tergantung amalmu, memanen ridha  tuhanmu ataukah tidak.


Dan (ingatlah) pada hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke neraka, lalu mereka dipisah-pisahkan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap apa yang telah mereka lakukan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka “ Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” (Kulit) mereka menjawab, “Yang menjadikan kami dapat berbicara adalah Allah, yang (juga) menjadikan segala sesuatu dapat berbicara, dan Dialah yang menciptakan kamu yang pertama kali dan hanya kepadaNya kamu dikembalikan.” 
_Fusshilat : 19-21