Mataku tak bisa terpejam, shalatku penuh ide,
maasyaAllaah... Jika semangatku sedang memuncak hampir pasti tidurku
berantakan...Aaah, masjid, kali ini ialah sumber insomnia ku.
Dulu, saat jiwa ragaku berpetualang di zaman Sekolah Dasar,
masjid adalah tempat yang paling menyenangkan. Libur sekolah sering kali
kuhabiskan dengan ‘nyantri kilat’ di beberapa masjid, senang, senang, senang,
itulah citra masjidku dulu.
Masjid Daarussalaam adalah masjid pertamaku mereguk lezatnya
ilmu, lokasinya berada di tengah padat rumah-rumah yang tak beraturan karena
tak ada bisnis properti disana, Margacinta nama daerahnya.
Kawan, masjid pertamaku menyenangkan sekali, niatku dulu
adalah bertemu orang-orang yang menyenangkan, tak sedikitpun bayanganku untuk
bisa membaca Al-Quran saat itu. Ikhwan pertamaku (udah baca, kan?) saat itu
masih SMA, bersama para tetangga dan beberapa teman satu sekolahnya, ba’da
magrib mereka memadati masjidku, menjadi
pusat lingkaran besar–besar yang riuh rendah mengeja setiap huruf keriting yang
aneh, tulisan arab dalam buku hitam bermerek IQRA.
Setiap sekali seminggu, kami para bocah berbaris-baris rapi
berhimpit-himpit karena tak ingin si setan mengisi barisan. Pelajaran shalat
yang juga menyenangkan, imam pura-pura yang memimpin kami adalah pergiliran,
maka kami sekuat tenaga menghafal bacaannya agar tak malu saat menjadi imam
pura-pura itu. Para pengajar, melangkah
pendek-pendek, mengitari posisi kami yang sedang duduk diantara dua sujud dan
tahiyat akhir yang susah sekali- kenapa sih kakinya harus dilipet-lipet?
Sekali setiap minggu pula, pelajaran khusus bertema : Games
mengocok-ngocok perut kami. Berbaris berhadapan, saling suwit dan lempar
pertanyaan yang berakhir hukuman request
dari kelompok pemenang : praktek jadi
mongki, baca hafalan surat atau do’a, atau berdiri mematung tanpa dihiraukan
siapapun, tak mengerjakan apa-apa. Dan kadang kami tertawa sekaligus malu
luarbiasa jika kalah dalam perang pertanyaan itu.
Tiba Ramadhan, masjidku makin seru dengan program sanlat.
Ba’da subuh kami diwajibkan mendengar ceramah dengan mata terkantuk-kantuk,
menuliskan poin-poinnya dan berebut meminta tandatangan bapak penceramah, kami
tak peduli materi ceramahnya, yang penting lembar-lembar tugas itu penuh terisi
meski dengan mencontek :D.
Selesai ashar berjama’ah kami kembali berkumpul, mengaji dan
mengikuti berbagai perlombaan yang telah dirancang kakak-kakak pengajar : lomba
MTQ, hafalan surat, Adzan, puisi, bikin kartu lebaran, dan nasyid.
Team nasyidku, Firdaus, terdiri dari tiga personel ikhwan
dan dua akhwat yang tega sekali memukul-mukul bulatan kayu berbalut kulit, aku
ditunjuk sebagai vokalis karena tak ada alasan lain : akulah satu-satunya yang
hafal banyak lagu nasyid, bukan karena suaraku yang bagus, kawan :D.
Adzan magrib, kami sholat berjama’ah. Usai shalat, kami
mengumpulkan sandal-sandal dalam lingkaran kapur yang dijaga seorang ‘kucing’
dan kami berusaha merebut sandal-sandal itu, sampai saat ini aku tak tahu nama
permainan itu.
Shalat isya, kami kembali berjama’ah, berlanjut tarawih dua
puluh tiga raka’at yang sering tak lengkap karena kami kelelahan dan tertidur.
Saat bangun untuk sahur, aku sudah ada di rumah, tak tahu apa yang terjadi saat
tarawih, ternyata guruku, teh Yati menggendongku sampai ke rumah :D.
Subuh kembali, seperti biasa, kami terkantuk-kantuk menyimak
kuliah subuh itu, tapi kami tak sabar menanti kejutan-kejutan lain dalam
perlombaan nanti sore.
Terbayangkah, kawan? Maka setiap hari, Ramadhan kami menjadi
sangat berarti, tak ada kesia-siaan karena kami sibuk berlatih, menghafal, dan
saling bersaing untuk bisa jadi yang terbaik.
Akhir-akhir Ramadhan kami, para juara berdebar-debar karena
hadiah berbungkus kertas cokelat banyak sekali. Setiap kali sang juara
perlombaan maju untuk mendapat hadiah, kami bersuit-suit, mengacung-ngacungkan
tangan sambil bertakbir. Selain hadiah, sertifikat penghargaan pun menjadi kenang-kenangan
tak terlupakan hingga saat ini, maka buatku, sertifikat itu menumpuk hingga
kini karena akulah yang paling bernafsu untuk mengikuti hampir setiap
perlombaan :D. Dan kawan, jangan fikirkan biaya kegiatan itu, kami tak tahu
menahu, semuanya gratis.
Begitulah, masjidku menjadi tempat yang paling dirindukan
setiap hari, bahkan saat hujan deras mengguyur, kami rela berbasah-basah untuk
sampai di tempat menyenangkan itu. Kawan, mungkin itulah makna ‘makmur’ yang
sebenarnya, para pemuda yang mencintai masjid sesungguhnya sedang dicetak dalam
proses ‘menyenangkan’ itu. Maka
menurutku _KOREKSI AKU JIKA SALAH_, tak salah jika kau ‘bersenang-senang’
bersama murid-muridmu di masjid, buatlah proses belajar mengenal Allah itu
menyenangkan, agar masjid kita kembali ramai dan dicintai, agar kesan indah
tentang rumah Allah itu terpatri dalam, agar dimanapun kita berada, kita kan
selalu ingin menjadi bagian terbaik yang mendukung dakwah di rumahNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar