Pages

Rabu, 21 Agustus 2013

Selapis Kulit Tempe


Percayakah kau jika kukatakan bahwa kulit kita mirip dengan sekerat tempe? Konyol, mungkin itu jawabanmu.

Aku pun masih sering tersenyum getir jika otakku tiba-tiba memutar kembali kilasan waktu, tentang kulit kita...

Seorang ibu, fisiknya terlihat sehat, sangat sehat bahkan, di dekatnya berkumpul satu dua orang sahabatku, ia bercerita sambil sesekali menunjukkan titik-titik tertentu di lengannya. Tahukah apa yang sedang asyik diceritakannya? Sehari sebelum cerita itu tersiar, sang ibu telah melakukan operasi pengangkatan jamur yang tumbuh disekitar lengannya, aku yang mendengarkan di pojok ruangan benar-benar takut, berkali-kali istighfarku lirih. Sang ibu yang juga penderita Systemic Lupus Erithemathosus telah mengkonsumsi obat-obatan dosis tinggi untuk menahan laju liar penyakitnya, bertahun, dan kondisi tubuhnya semakin baik, dosis tinggi itu kemudian direkomendasikan oleh dokter agar diturunkan kadarnya, tindakan yang benar, hanya saja imun yang telah lama teradaptasi dengan obat pertamanya sedikit 'kaget', ia kembali beradaptasi dengan obat  baru, akibatnya  jamur-jamur tumbuh subur  di kulit sang ibu, maasyaAllaah...

Apa pendapatmu kawan? Mungkin kau tak akan percaya, tapi aku yang juga sempat berkait erat dengan penyakit itu enam tahun lalu pernah mencicip kelupas eptitel yang juga aneh, seperti tanda-tanda terbakar, pecah dan tentusaja kasar, bahkan seseorang pernah dengan tega menyebut kulitku seperti corak kain batik, ah, ujian yang menyenangkan... Menyenangkan karena dengan ujian itu aku tahu banyak hal tentang diriku sendiri, tentang arti ‘abdullah’, ‘hamba Allah’ yang tak sedikitpun daya dan upaya dimiliki kecuali atas izinNya, tentang makna syukur yang teramat sering luput dan baru terasa begitu nikmat saat tercerabut, syukur, sikap yang benar-benar menjadi identitas menonjol dalam diri seorang muslim di samping sabar yang juga tak kalah berat, maka bagi mereka yang telah mendapat keduanya, tentulah sangat beruntung.

Menjadi hamba berarti menjadi sosok yang dengan mendengar ia taat terhadap tuhannya, tak banyak bicara karena tsiqah, percaya pada kerjaNya yang pasti terbaik, yang pasti tak khianat akan janji, yang pasti meberi ujian sesuai takar mampu hambanya, tak sedikitpun lebih. Maka dengan itu, mereka terlihat tak pernah bersedih meski ujian begitu berat (menurut kita yang melihat), dan aku malu...

Rasa syukur yang menjelma ikhtiar sepenuh rasa mampu meski amat terbatas (lagi-lagi menurut kita yang melihat), rasa syukur yang dengannya setipis apapun kesempatan hidup menjadi benar-benar berharga, teramat berharga karena tiap detik adalah kesempatan membayar surga meski dengan kerja sederhana yang payah, Karena mereka yakin setiap kebaikan sebiji dzarrah pasti berbalas. Dan aku malu...


Aku malu karena tak mampu seperti mereka meski ujianku tak serumit ujian mereka,
Aku malu karena terlalu banyak berkeluh,
Aku malu karena tsiqahku amat payah pada nyeri yang tak seberapa,
Aku malu karena usahaku buntu oleh alasan yang beraneka rupa,
Aku malu karena malasku seringkali menenggelam karya,
Aku benci orang-orang yang bermaksiat meski nyatanya tak ada beda diriku dengan mereka.

Selapis kulit kawan, yang mungkin jarang kita (aku khususnya) tafakuri, adalah nikmat yang luar biasa... Kelak, jadilah ia saksi kita yang mengantar kita ke surga, tergantung amalmu, memanen ridha  tuhanmu ataukah tidak.


Dan (ingatlah) pada hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke neraka, lalu mereka dipisah-pisahkan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap apa yang telah mereka lakukan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka “ Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” (Kulit) mereka menjawab, “Yang menjadikan kami dapat berbicara adalah Allah, yang (juga) menjadikan segala sesuatu dapat berbicara, dan Dialah yang menciptakan kamu yang pertama kali dan hanya kepadaNya kamu dikembalikan.” 
_Fusshilat : 19-21    


Tidak ada komentar: