Percayakah kau jika kukatakan bahwa kulit kita mirip dengan
sekerat tempe? Konyol, mungkin itu jawabanmu.
Aku pun masih sering tersenyum getir jika otakku tiba-tiba
memutar kembali kilasan waktu, tentang kulit kita...
Seorang ibu, fisiknya terlihat sehat, sangat sehat bahkan,
di dekatnya berkumpul satu dua orang sahabatku, ia bercerita sambil sesekali
menunjukkan titik-titik tertentu di lengannya. Tahukah apa yang sedang asyik
diceritakannya? Sehari sebelum cerita itu tersiar, sang ibu telah melakukan
operasi pengangkatan jamur yang tumbuh disekitar lengannya, aku yang
mendengarkan di pojok ruangan benar-benar takut, berkali-kali istighfarku
lirih. Sang ibu yang juga penderita Systemic
Lupus Erithemathosus telah mengkonsumsi obat-obatan dosis tinggi untuk
menahan laju liar penyakitnya, bertahun, dan kondisi tubuhnya semakin baik,
dosis tinggi itu kemudian direkomendasikan oleh dokter agar diturunkan
kadarnya, tindakan yang benar, hanya saja imun yang telah lama teradaptasi
dengan obat pertamanya sedikit 'kaget', ia kembali beradaptasi dengan obat baru, akibatnya jamur-jamur tumbuh subur di kulit sang ibu, maasyaAllaah...
Apa pendapatmu kawan? Mungkin kau tak akan percaya, tapi aku
yang juga sempat berkait erat dengan penyakit itu enam tahun lalu pernah
mencicip kelupas eptitel yang juga aneh, seperti tanda-tanda terbakar, pecah
dan tentusaja kasar, bahkan seseorang pernah dengan tega menyebut kulitku
seperti corak kain batik, ah, ujian yang menyenangkan... Menyenangkan karena
dengan ujian itu aku tahu banyak hal tentang diriku sendiri, tentang arti
‘abdullah’, ‘hamba Allah’ yang tak sedikitpun daya dan upaya dimiliki kecuali
atas izinNya, tentang makna syukur yang teramat sering luput dan baru terasa
begitu nikmat saat tercerabut, syukur, sikap yang benar-benar menjadi identitas
menonjol dalam diri seorang muslim di samping sabar yang juga tak kalah berat,
maka bagi mereka yang telah mendapat keduanya, tentulah sangat beruntung.
Menjadi hamba berarti menjadi sosok yang dengan mendengar ia
taat terhadap tuhannya, tak banyak bicara karena tsiqah, percaya pada kerjaNya yang pasti terbaik, yang pasti tak
khianat akan janji, yang pasti meberi ujian sesuai takar mampu hambanya, tak
sedikitpun lebih. Maka dengan itu, mereka terlihat tak pernah bersedih meski
ujian begitu berat (menurut kita yang melihat), dan aku malu...
Rasa syukur yang menjelma ikhtiar sepenuh rasa mampu meski
amat terbatas (lagi-lagi menurut kita yang melihat), rasa syukur yang dengannya
setipis apapun kesempatan hidup menjadi benar-benar berharga, teramat berharga
karena tiap detik adalah kesempatan membayar surga meski dengan kerja sederhana
yang payah, Karena mereka yakin setiap kebaikan sebiji dzarrah pasti berbalas. Dan aku malu...
Aku malu karena tak mampu seperti mereka meski ujianku tak
serumit ujian mereka,
Aku malu karena terlalu banyak berkeluh,
Aku malu karena tsiqahku
amat payah pada nyeri yang tak seberapa,
Aku malu karena usahaku buntu oleh alasan yang beraneka rupa,
Aku malu karena malasku seringkali menenggelam karya,
Aku benci orang-orang yang bermaksiat meski nyatanya tak ada
beda diriku dengan mereka.
Selapis kulit kawan, yang mungkin jarang kita (aku
khususnya) tafakuri, adalah nikmat yang luar biasa... Kelak, jadilah ia saksi
kita yang mengantar kita ke surga, tergantung amalmu, memanen ridha tuhanmu ataukah tidak.
Dan (ingatlah) pada
hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke neraka, lalu mereka
dipisah-pisahkan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran,
penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap apa yang telah mereka
lakukan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka “ Mengapa kamu menjadi saksi
terhadap kami?” (Kulit) mereka menjawab, “Yang menjadikan kami dapat berbicara
adalah Allah, yang (juga) menjadikan segala sesuatu dapat berbicara, dan Dialah
yang menciptakan kamu yang pertama kali dan hanya kepadaNya kamu
dikembalikan.”
_Fusshilat : 19-21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar