Pages

Sabtu, 29 Juni 2013

Aku Ingin Tahu Rasanya Rugi



"Aku ingin tau bagaimana rasanya kerugian." serunya. Ya, dari sekian banyak kegiatan bisnisnya ia adalah ahli yang tak pernah kenal istilah rugi.

-----

Dari kemapanan hidup di kampung halamannya yang memang adalah kampung para saudagar, ia berhijrah, meninggalkan kerajaan bisnisnya yang dibangun bertahun lamanya dengan tak membawa apapun selain bekal  ta'at pada Allah dan Rosul.

Di Yatsrib, kota para petani itu, ia dipersaudarakan Rosulullah dengan Sa’ad bin Rabi’ Al-Anshari yang juga kaya. Abdurrahman pernah ditawari Sa'ad untuk memilih kebun yang paling ia sukai dari dua kebun miliknya, bahkan dari dua istri yang ia miliki, dan Abdurrahman hanya tersenyum, berterima kasih dan meminta satu hal : "Tolong tunjukan padaku arah pasar, saudaraku."

Di pasar itu ia kembali memulainya dari nol, dari menjadi kuli angkut barang, kemudian menjadi makelar. Bisnisnya kian berkembang dan menghasilkan uang yang cukup untuk membeli sepetak kios di pasar tersebut, dari kios itulah kerajaan bisnisnya yang kedua kembali dibangun. Berbekal tarbiyah  dari sang guru, Rosulullah SAW, bisnisnya bertahan dari gelombang kelicikan para Yahudi yang memonopoli pasar, ia jujur, tak kenal riba dan tentusaja profesional.

Suatu hari keinginannya untuk merasakan kerugian ia ikhtiarkan. Ia membeli banyak kurma mentah dan menyimpannya di gudang, berharap agar kemudian membusuk dan ia merugi. Rencana Allah, setelah ikhtiar menjemput kerugian itu ia laksanakan, tersebarlah wabah penyakit yang kemudian dicari penawarnya, dan tahukah? penawarnya adalah kurma mentah yang amat jarang berada dipasaran saat itu, maka para pedagang dari berbagai daerah yang mengetahui Abdurrahman Bin 'Auf memilikinya berlomba-lomba untuk bisa membeli kurma tersebut, tawar menawar terjadi bahkan hingga para pedagang tersebut melakukan lelang mandiri, seratus dinar, saya dua ratus, saya tiga ratus, dan Abdurrahman Bin 'Auf hanya bisa geleng-geleng kepala. ^^

Minggu, 09 Juni 2013

Kristal


Menggayut rindu, tapi aku malu...
Pada ia yang menyenangkan sekaligus menyebalkan.
Pada ia yang kutitipkan namaku dalam do'a.

Kenapa kau memilih butir air yang sekilas adalah air mata?
Dalam setiap ucapanmu, ada selaksa tajam yang sering mengirisku,
maka kau seharusnya air yang mengkristal dalam gelap.

PR lagi buat Kang Emil...



Ahad, 9 Juni 2013 aku, tetehku bersama para pedagang kaki lima yang jumlahnya hampir seratus melakukan negoisasi bersama warga Metro atas masalah ‘kesemrawutan’ wilayah tersebut setiap minggu. Hanya satu minggu sekali, itupun tidak mendesak waktu shalat dzuhur, jam 11.00 WIB biasanya kami telah selesai menjaja dagangan.

Kang Emil jadi saksi atas kejadian pagi itu. Diiringi para penjaganya, tetehku yang berada di belakang berteriak pelan- menyadari bahwa ini belumlah menjadi wewenang calon walikota Bandung itu, “Kang, kumaha ieu teh?”

Padahal setiap kali kami berjualan, para pemalak itu rajin sekali mengumpul pajak. Kali ini, seminggu sebelum pasar kaget Metro kembali digelar, warga telah protes dan bersiap memasang atribut bertuliskan “PKL dilarang berjualan” dan para pemalak itu hilang ditelan semarak pedagang kecil yang khawatir akan nasib dagangannya yang telah siap memenuhi pasar jelang lebaran.

Hanya seminggu satu kali, Kang.

Jika kami membuat macet, jalan-jalan pintas Margahayu yang tersebar itu kami rasa cukup, dan bukankah saat itu, saat kami dilarang berjualan pun jalanan tetap macet?

Jika kami membuat kotor, bisakah kita bicara dan membuat solusi cerdas yang menyenangkan semua pihak?

Dan jika pasar dengan rotasi uang 900 juta itu menggiurkan bagi warganya yang juga ingin merasakannya , bisakah kita bersaing dengan adil?

Ya, kami mafhum jika lapak-lapak yang kami gelar terlalu kumuh, teramat mencolok di wilayah mewah yang rata-rata rumahnya tipe 48, tapi bukankah sudah kukatakan, bisakah kita bicara dan membuat solusi menyenangkan? Bukan dengan ‘maraban’ -kata pedagang- aparat yang dengannya buruk sangka kami kian akut : Pada siapa pemerintah ini berpihak? orang-orang kaya kah?

Kang, harapan pedagang kecil (yang benear-benar kecil) sederhana : agar dapur kami tetap mengepul, itu saja, jika harapan untuk mendapati hidup menjadi jauuuuh lebih baik begitu sulit.

Dan aku semakin miris...
Tempat kami bernegoisasi itu sangat dekat, berjarak jalan setapak bagian barat masjid, namun yang ada adalah barisan para ibu yang tak sedikitpun kami dapati simpul senyum menyenangkan dari mereka-  mencegah kerusuhan yang lebih besar mungkin. Bahkan, seorang ibu dengan masker dan kacamata tega mengobrak-ngabrik lapak yang nekad digelar. Ah, jika masjid itu bisa bicara tentu ia akan menangis.

Kang Emil, kami yakin do’a ibu yang tertulis dalam nama anda pasti mustajab.

Jadilah Ridwan penjaga surga yang ramah dan menyolusi semua orang baik agar nyaman, biarlah mereka yang jahat di neraka, terbakar dengan gemeretak gigi menahan amarah pada kenyamanan ahli surga.

Jadilah seperti Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam yang 1400an tahun yang lalu berdo’a : Ya Allaah bangkitkanlah aku bersama orang-orang yang miskin.


Tulisan ini lih buat karena :
 HUSNUDZAN
 dan 
OPTIMIS 
Kang Emil bisa jadi walikota yang baik ^^