Ahad, 9 Juni
2013 aku, tetehku bersama para pedagang kaki lima yang jumlahnya hampir seratus
melakukan negoisasi bersama warga Metro atas masalah ‘kesemrawutan’ wilayah
tersebut setiap minggu. Hanya satu minggu sekali, itupun tidak mendesak waktu
shalat dzuhur, jam 11.00 WIB biasanya kami telah selesai menjaja dagangan.
Kang Emil
jadi saksi atas kejadian pagi itu. Diiringi para penjaganya, tetehku yang
berada di belakang berteriak pelan- menyadari bahwa ini belumlah menjadi
wewenang calon walikota Bandung itu, “Kang, kumaha ieu teh?”
Padahal
setiap kali kami berjualan, para pemalak itu rajin sekali mengumpul pajak. Kali
ini, seminggu sebelum pasar kaget Metro kembali digelar, warga telah protes dan
bersiap memasang atribut bertuliskan “PKL dilarang berjualan” dan para pemalak
itu hilang ditelan semarak pedagang kecil yang khawatir akan nasib dagangannya
yang telah siap memenuhi pasar jelang lebaran.
Hanya seminggu
satu kali, Kang.
Jika kami
membuat macet, jalan-jalan pintas Margahayu yang tersebar itu kami rasa cukup,
dan bukankah saat itu, saat kami dilarang berjualan pun jalanan tetap macet?
Jika kami
membuat kotor, bisakah kita bicara dan membuat solusi cerdas yang menyenangkan
semua pihak?
Dan jika
pasar dengan rotasi uang 900 juta itu menggiurkan bagi warganya yang juga ingin
merasakannya , bisakah kita bersaing dengan adil?
Ya, kami mafhum jika lapak-lapak yang kami gelar
terlalu kumuh, teramat mencolok di wilayah mewah yang rata-rata rumahnya tipe
48, tapi bukankah sudah kukatakan, bisakah kita bicara dan membuat solusi
menyenangkan? Bukan dengan ‘maraban’ -kata pedagang- aparat yang dengannya
buruk sangka kami kian akut : Pada siapa pemerintah ini berpihak? orang-orang
kaya kah?
Kang,
harapan pedagang kecil (yang benear-benar kecil) sederhana : agar dapur kami
tetap mengepul, itu saja, jika harapan untuk mendapati hidup menjadi jauuuuh
lebih baik begitu sulit.
Dan aku
semakin miris...
Tempat kami
bernegoisasi itu sangat dekat, berjarak jalan setapak bagian barat masjid,
namun yang ada adalah barisan para ibu yang tak sedikitpun kami dapati simpul
senyum menyenangkan dari mereka- mencegah
kerusuhan yang lebih besar mungkin. Bahkan, seorang ibu dengan masker dan
kacamata tega mengobrak-ngabrik lapak yang nekad digelar. Ah, jika masjid itu
bisa bicara tentu ia akan menangis.
Kang Emil,
kami yakin do’a ibu yang tertulis dalam nama anda pasti mustajab.
Jadilah
Ridwan penjaga surga yang ramah dan menyolusi semua orang baik agar nyaman, biarlah
mereka yang jahat di neraka, terbakar dengan gemeretak gigi menahan amarah pada
kenyamanan ahli surga.
Jadilah seperti Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam yang 1400an tahun yang lalu berdo’a : Ya Allaah bangkitkanlah aku bersama orang-orang yang miskin.
Tulisan ini lih buat karena :
HUSNUDZAN
dan
OPTIMIS
Kang Emil bisa jadi walikota yang baik ^^
dan
OPTIMIS
Kang Emil bisa jadi walikota yang baik ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar