Dulu aku pernah menjadi saksi sebuah model ta’aruf yang
bemula dari dunia maya. Perkenalan itu serius, mengarah ke sebuah pernikahan,
terlebih setelah saling tahu bahwa
keduanya adalah ikhwah dalam wadah
yang sama. Sejak saat itu, malam-malam al-ukh ditemani telfon dari al-akh,
membincang pertanyaan ini itu, sampai pada keinginan al-ukh untuk mendengar
lantun tilawah al-akh. Dan aku risih, kutanyakan perihal apa yang mengganjal
hatiku pada al-ukh, dengan nada dan ekspresi wajah sedih, ia berkata : “Kami
sedang mencoba untuk saling mengenal, jika tidak dengan cara ini, lalu
bagaimana bisa?” dan aku hanya terdiam...
Benar, jarak mereka terbentang kota yang berbeda, dan mereka
belum pernah bertemu sekalipun... Seperti yang kutahu, bahwa seharusnya
perkenalan itu bukan antara orang per orang yang sudah memiliki niat menikah,
tapi lebih kepada keluarga dan teman-teman yang tahu pasti kebaikan terlebih
keburukan yang sedang ingin kita tahu pribadinya. Tapi tak semua orang mengerti
hal ini, banyak sekali kendala jika harus berproses seideal apa yang kusebutkan
di atas, terlebih dalam kasus mereka yang baru saja saling mengenal, tak pernah
sekalipun bertemu dan kendala keluarga yang masih ‘awam’.
Aku belajar dari peristiwa ini, dan entah kenapa azam agar
tak melewati proses ‘komunikasi langsung’ dengan calon pasanganku kelak kian
kuat, meski aku amat sadar akan realita yang seringkali tak seideal apa yang
diharap. Tapi bukankah do’a adalah pengubah takdir, dari takdir satu ke
takdirNya yang lain yang lebih siap kita hadapi?
Rabbi...berkahi pernikahan bahkan saat mula prosesnya, berkah yang membuat hatiku tenang melangkah...
Rabbi...berkahi pernikahan bahkan saat mula prosesnya, berkah yang membuat hatiku tenang melangkah...
Dan inilah sebagian realita yang ada padaku,
Berkali proses ta’aruf itu kandas, terkadang aku yang
menolak, tapi lebih sering aku yang ditolak :D.
Saat aku memutuskan untuk menolak, maka semampuku untuk
maksimal beristikharah, bermusyawarah dan berfikir secara lebih mendalam, dan
akhirnya, hampir pasti adalah tangis ketakutanku jika keputusaan untuk menolak
tak Ia ridhai.
Saat giliranku mendapat penolakan, beberapa kekecewaan terjadi pada mereka yang
terlibat... keluargaku tegas mengatakan kekecewaannya pada sikapku yang seakan
tak mau menerima, mungkin karena saat ta’aruf
jasadi, aku lebih sering diam, menunduk, dan jika berbicara, intonasiku
seperti orang yang ‘merendahkan’, padahal...WAllahi, aku gugup sekali.
Seingatku, sepanjang usiaku, tak pernah sekalipun aku berada dalam lingkup
kecil yang serius bersama ikhwan, jikapun pernah, pasti hanya saat rapat-rapat
organisasi yang serius tapi juga santai karena kalaupun tak berhijab, ruangan
kami lumayan luas dan akhwatnya banyak ! Jadi, boleh dibilang aku ini kuper
sama ikhwan, tak pandai mengatasi gugup, sehingga ekspresi wajahku pun tak bisa
kukendalikan.
Mungkin karena inilah juga si calon menjadi kecewa, apalagi
jika sekedar SMS yang dilayangkan untukku pun tak kunjung kubalas, maaf, beribu
maaf. Maaf jika karena hal ini kalian menganggapku terlalu idealis, aku tahu
kondisi hatiku yang sering tak kondusif untuk niat yang baik, sekecil apapun
aku merasakannya. Dan saat SMS itu tertayang, aku merasa bahwa itu adalah
‘ancaman’ yang akan merusak hatiku, maaf...sekali lagi aku memohon maaf, maaf
jika caraku menjaga salah...
Begitulah diantara sebabku sering ditolak ikhwan, alasan
lainnya adalah fisikku yang tak semampai dan tak secantik pandangan mata ia
yang melihat, pun juga karena alasan saklit LUPUS yang pernah kuderita. Ya,
terkadang episode hidup ini melukai, tapi sejujurnya, aku lebih senang menerima
penolakan ketimbang harus menolak. Aku tak ingin membuat orang lain
tersakiti...
Sejak azamku tumbuh, aku lebih menginginkan sosok ikhwan
yang tak banyak menginteraksi dalam ta’aruf jelang pernikahanku. Tiba-tiba ia
datang menemui keluargaku, mengutarakan niatnya, memberiku kesempatan
beristikharah sembari mengenalnya lewat keluarga dan teman-temannya. Ia yang
jauh-jauh hari telah memantapkan hati untuk menikah dan mencari informasi
tentangku tanpa sedikitpun kutahu.
Dan ini juga pernah terjadi padaku, meski ternyata hanya
sebuah kesalahfahaman.
Aku menghargai dia yang menjaga hatiku dengan mengutus
seorang temannya -sudah menikah- yang juga temanku ke rumah dan mengutarakan
niat. Berbunga-bunga kudapati kabar itu dari kakakku, persis seperti apa yang
kuinginkan! Meski nyatanya adalah, si ter-utus terlalu bersemangat dan
terburu-buru menyampaikan amanat yang seharusnya adalah untuk mencari informasi
hingga beberapa bulan kedepan (entah kapan) dan aku? Memutuskan untuk tak
menunggu, lagi-lagi karena aku khawatir kondisi hatiku...Jika proses itu
berjalan hingga berbulan bulan lamanya, akankah itu menjadi legalitas ‘pacaran’
atas nama ta’aruf? Aku ngeri...
Dari hatiku yang kutahu teramat kotor ini, yang sedang
berusaha kujaga sepenuh mampuku, sekali lagi aku memohon maaf pada keluarga dan
kalian yang sempat menjadi bagian episode perjalananku menggenap addin...Aku amat tahu bahwa aku tak
sempurna, tak akan pernah! Aku tak
meninggi dengan kondisi fisikku, pun tak lupa sakit yang pernah kurasa, aku
bukanlah wanita shalihah, dan samasekali bukan pencari kesempurnaan hingga
detail pandangan mata, karena aku pun tahu, sangat tahu bahwa tak pernah ada!
Aku hanya seorang yang berusaha agar caraku baik, meski berkali kali awalnya
caraku salah, agar caraku membuah ridha dan berkah dariNya... Aku tak ingin
menggadai apa yang kuyakini, tapi aku kan tetap belajar, agar selalu husnudzhan
itu hadir atas apa yang telah Ia tetapkan....aku kan terus belajar, terus...tak
kan sedikitpun berhenti, bahkan sampai ia hadir menemani perjuangan menggapai
negeri tanpa letih, menggapai wajahNya yang mulia, dan berkata : “Selamat
datang wahai orang-orang yang mencintai karenaKU.”
Aku kan tetap optimis, seperti kata sahabatku “Majulah,
habiskan jatah gagalmu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar