Pages

Jumat, 25 Oktober 2013

Hafidzah itu... Pasti Tawadhu



Gelar Hafidzah itu baru tersemat jika ruh telah mencerai raganya.

Tak sebatas lisan.

Jika tanpa gerak, tanpa sikap, tanpa akhlak,

sepantasnyalah kau bergelar manusia tak tahu malu.


Bukankah kemudahan pun dariNya ?

Bukankah ia pun adalah peta kita berkehidupan ?

Maka penghambaanmu tak patut kau rusak,

dengan berbangga dan meng aku-aku.




Berdo'a,

dan jagan bosan.

Bergerak,

agar tawadhu. 



ok, Lih ^_^


Gelisah



Benar, terkadang iman kita gelisah.

Hingga Ibrahim meminta Allah menunjukkan caranNya menghidupkan,
"Belum yakinkah engkau akan kuasaKu?"
"Aku yakin, hanya saja agar hati ini menjadi tentram."

Pun juga tentang do'a kekasih kita, jelang perang Badar yang menegangkan.

Benar, terkadang iman kita gelisah.

Akankah kebaikan yang selama ini kita perjuangkan sampai pada akhirnya yang juga baik?
Ataukah kita kan tergoda dengan sampah dunia yang terkemas begitu cantik.

Benar, terkadang iman kita gelisah.

Terkadang ia payah, terkadang ia terasing, terkadang ia takut...

Dan saat itu terjadi, terpejamlah! azamkan satu harap kebenaran:

 "Jika ini perintah Allah, Dia tak akan pernah menyia-nyiakan kami." 
dan bergeraklah, selalu dalam ridhoNya.



-Dalam Dekapan Ukhuwah-
Muroja'ah buku ini, banyak sekali hal terluput ternyata...T_T

Kamis, 24 Oktober 2013

The power of Nulis :D



Di dunia ini, akulah mungkin yang paling narsis.

Tiap-tiap deret kata yang ada pada blog ini, seorang setia membacanya, bahkan hingga berulang-ulang: aku.

Tulisan adalah media penting bagi kebodohanku, ia pengikat ilmu, begitu kata seorang 'aalim. Bagiku, ia bukan hanya pengikat ilmu, ia juga pengikat hikmah yang baik sekaligus jahat.

Ia baik saat aku merasa baik, ia mampu menyimpul ujung-ujung bibirku menjadi seulas senyum amat manis, membuatku ge-er tingkat tinggi : tulisannya bagus! -huuuuuu :p. Dan tentu saja ia membuatku sadar akan milyar-milyar hikmah yang tercecer, memotivasiku untuk tak malas menjitak-jitak huruf pada keyboard yang saat ini masih bukan milikku sendiri. Ia baik, sebaik perasaanku saat membacanya, aku mau terus belajar.

Sering kali, kejahatannya melampaui kebaikannya, ia jahat karena pada beberapa baris katanya ada selapis tajam yang mengiris rasaku, membuat mataku kaca. Kadang ia berubah, menjelma menjadi sosok algojo yang memukul uluhatiku keras sekali, hingga sesak, hingga roboh keangkuhanku, aku harus belajar!. Ya, ia seringkali jahat seiring burukku yang sering.

Teruslah menulis, bukan untuk orang lain tapi untukmu sendiri.
Karena ego kita terlalu kuat untuk menangkis segala nasehat, maka kalahkan ia dengan lembut hatimu yang kau tulis lebih dulu.
Berceritalah tentang kebaikan dan kemudian berbagilah, karena kita berharap menjadi 'jalan' kebaikanNya.
Dan terkadang, kau harus menahan karya kemarahan dan umpatanmu, tulislah jika itu membuatmu lega dan jangan sekalipun kau bagi, karena kita tak sama sekali ingin, menjadi 'jalan' keburukan bagi orang lain.

Kelak, mungkin kau akan sepertiku, menjadi bagian dari orang-orang narsis yang 'tergila-gila' pada tulisanmu sendiri, bukan karena bagus, puitis, ataupun nyastra.
Karena tulisan kita sendirilah yang akan menghapus kelalaian.

Hidup ini terlalu singkat untuk memikirkan hal-hal kecil, kata David J. Schwartz, tapi menurutku, menuliskan hal-hal kecil yang terbaik dalam hidupmu akan membantumu menemukan syukur yang sempat lenyap.

Hmm...Dengan senang hati kunanti setiap koreksi ^_^

Jumat, 18 Oktober 2013

Akhlak Qurani



 
Suatu sore, seorang pemuda Indonesia yang tengah berlibur dari aktifitas kuliahnya bergegas menuju sebuah masjid, ia tak ingin tertinggal shalat jama’ah.

Selepas shalat, ia berbincang ringan dengan pengurus masjid itu, diungkapkan keinginannya untuk bisa mengisi waktu luang dengan menuntut ilmu keislaman yang kelak akan menjadi bekalnya berdakwah di tanah air.

Pengurus masjid itu kemudian memeperkenalkannya dengan seseorang yang juga adalah aktifis dakwah. Usai perkenalan, mereka sepakat untuk datang ke sebuah desa yang insyaAllah kondusif untuk belajar.

Dalam perjalanan dengan mobil mereka berhenti untuk sekedar membeli minum dan beberapa ikan ukuran besar yang nanti akan dimasak untuk makan malam. Pemuda Indonesia itu mengangsurkan beberapa lembar uang pada penjualnya, tapi sang penjual menggeleng, tersenyum sambil memandang sang aktifis “Biarkan kami memuliakan tamu yang hendak datang untuk menunut ilmu.”, pemuda itu tersenyum, ia masih sungkan menerima begitu banyak belanjaan tanpa mebayarnya sepeser pun.

Perjalanan kembali berlanjut, ia masih heran tapi diliputi kekaguman. Sampai di desa yang dimaksud, sang aktifis memparlihatkan beberapa tempat usaha penduduk sekitar, pabrik tenun, bengkel, industri makanan dan lainnya, kemudian mereka beristirahat di sebuah rumah, seseorang dengan segera meberinya pakaian bersih, dan ia kemudian membawa pergi pakaian kotor milik sang pemuda.

Tak berapa lama makan malam telah siap, pemuda Indonesia itu keluar kamar dan mendapati belasan orang telah duduk melingkar menyambutnya, ia kemudian duduk, dihadapannya sebuah piring dengan potongan ikan telah tersaji, ia meraih piring itu dan seseorang di sebelahnya dengan cepat mengambil priringnya, menggantinya dengan piring lain berisi potongan ikan yang telah dibersihkan duri-durinya, kemudian beberapa orang mendekatinya, mereka hendak menyuapi pemuda itu, ia canggung sekali sampai kemudian mereka berkata “Kami melakukan ini untuk memuliakan tamu kami.” MaasyaAllaah...

Subuh datang, pakaian kotornya telah bersih dan wangi, terlipat rapi di sebelah ranjangnya,rasa herannya kian bertumpuk. Ia bersiap dan kemudian menuju masjid yang telah penuh sesak oleh para laki-laki yang hendak shalat dan mengikuti kajian hingga isya nanti .

Kajian pertama hingga jelang dzuhur itu penuh kebahagiaan, sang ustadz dengan sangat piawai menceritakan segala keindahan surga, sangat detail sehingga jama’ah seakan bisa melihat dan merasakannya, lengkung-lengkung senyum tergambar jelas, semangat mereka terpancar dihiasi optimisme untuk meraihnya.

Setelah shalat, kajian itu berlanjut, haru, banyak tangis tersedu hingga yang mengguncang bahu, hingga isaknya terdengar sangat memilukan, dari kejauhan mereka seakan kawanan lebah yang terganggu, berdengung menakutkan, kali itu, neraka dengan segala azabnya digambarkan begitu nyata, membuat mereka seakan tengah digiring masuk kedalamnya. Hari itu berakhir dengan uraian air mata yang tak kering hingga jelang subuh, para lelaki melanjutkan ‘itikaf sambil membaca Al-Quran.

Esok paginya, 22 pemuda terbagi menjadi dua kelompok, mereka akan berolah raga sambil bermain bola, pemuda Indonesia pun turut serta. Beberapa menit permainan dimulai, pemuda Indonesia itu berhasil membobol gawang lawan, ekspresi kemengannya urung ia perlihatkan karena sedetik kemudian setelah ia mencetak gol, lawan-lawannya berhamburan, memeluk tiap anggota tim pemenang sambil meneriakkan takbir berkali-kali, mereka bahagia sekali ‘saudaranya’ unggul.
Berkali-kali saat bola masuk gawang mereka melakukan hal yang sama : memeluk para pemenang dan meneriakkan takbir dengan senyum yang bahagia. Aneh.

Hingga masa liburnya berakhir, tak ada lagi tumpukan rasa heran, yang ada hanyalah kekaguman atas akhlak yang luarbiasa indah dari penduduk desa yang menerimanya sebagai thalib al-ilmi, sesuatu pelajaran amat berharga yang jauh lebih menghujam dibanding sekedar teori.

Pemuda Indonesia itu kini tahu, bahwa selama ini dia berada di desa yang memiliki budaya mengamalkan Al-Quran  yang mayoritas penduduknya adalah hafidz, bahkan pabrik-pabrik dan bengkel yang kemarin ia lihat ternyata dinamai dari kosakata Al-Quran. Subhanallaah...


Mengenang ukhuwah ayah di Negeri Kinanah
16-10-13  00:52

Sabtu, 12 Oktober 2013

Hamba


KuasaNya kian cemerlang,
bagi mereka yang tak pernah sungkan,
menyungkur pada tanah-tanah, meski becek.

Bergeraklah, hingga puncak itu takluk pada ikhiar dan do'a.
Tuangkanlah lezat iman itu pada tanah yang dahaga,
tanah yang rindu pada wajah-wajah para hamba :
telah tercukupilah segalanya dalam lembar-lembar terjaga,
maka kami hanyalah kerendahan dihadapanNya.




Bahwa buah kerjakeras, selalu berbanding lurus dengan penghambaanmu. Buktikan! 

Kamis, 10 Oktober 2013

Bandung Abdi

Akhir-akhir ini bapak yang setia mengantar-jemput anaknya tak lagi terlihat. Biasanya jam 07.00 bahkan jam 09.00 beliau sudah sampai di sekolah.

Istrinya bapak tadi : Iya, sekarang bapak yang PNS sibuk banget, semenjak pak Ridwan Kamil jadi walikota, rieut kerjaan numpuk katanya, kebanyakan program, belum lagi kalo datang dan pulang itu harus on time, si bapak sampe minta saya ngedoain biar dia sehat, kuat kerjanya.

Yang mendengarkan : (senyum-senyum) , (berbisik) Alhamdulillaah...

Semoga atasan dan para pendukungnya ridha, ikhlas, dan semangat yaaa ^^...
sing janten amal sholeh ...



Sabtu, 05 Oktober 2013

Santri Avaliable :D




Teh Eti  : Kata J*l*l, anak-anak tuh pada ngincer santri MAQDIS.
Lih        : Masa?
Teh Eti  : Belum pada tau aja :D
Lih        : Ho-oh

Semoga kita lebih baik dari apa yang mereka sangkakan ya jeeeng :)


Galaunya si Aku



Di SMA, sahabat-sahabatku selalu bilang,
“Kayaknya, Lilih deh yang bakal nikah duluan.”
Pasalnya, aku ini hobi banget cerita, sampe menggebu-gebu, lebih-lebih kalo cerita soal pernikahan, maklum, si aku emang doyan banget baca buku-bukunya ustadz Salim A. Fillah sejak pake seragam putih abu.

“Aku pengen nikah sebelum usiaku kepalanya dua.”,
 “Aku pengen jadi asabiqunal awwalun kalo nikah nanti.”
Heboh, tanpa diminta, dengan senang hati, aku cerita sendiri, sahabat-sahabatku di DKM senyum-senyum.

Maka, sekitar tujuh tahun yang lalu, benih-benih pengen nikah yang kutanam dan kupupuk dengan aneka bacaan plus seminar-seminar pendukungnya kini kokoh menjulang dan rimbun, menghasilkan buahnya yang ranum : makin pengen nikah, hihihi.

Sampai kemudian, perdananya piala bergilir akibat pernikahan kader-kader DKM SMA bukan milikku, tapi milik sahabatku yang luarbiasa pendiam, yang cuma senyum-senyum kalo aku lagi menggebu.
Misi gagal.

Satu-satu, tahun-tahun berikutnya paila itu bergilir, melenggang dihadapanku tanpa mau kusentuh.

Maka, sekitar tujuh tahun yang lalu, benih-benih nikah yang kutanam dan kupupuk dengan menjadi penonton aneka walimah plus foto-foto pra pre wedding sahabat-sahabatku, kini kokoh menjulang dan rimbun, menghasilkan buahnya yang ranum : pengeeen.
Pengen kayak mereka yang punya walimah,
Pengen ngaplod foto romantis-romantisan kayak mereka, tapi aku tahu banget, ITU GAK BOLEH !

Sampai kemudian, usiaku ogah-ogahan naik ke angka perempat abad.

Satu-satu lelaki datang dalam hidupku, tak sampai bulan prosesnya selesai.
Kini lebih dari jumlah jari tanganmu, jumlah lelaki yang datang padaku.

Si aku banyak maunya siiih...

"Aku ingin ikhwan yang jenggotnya tipis, ga berkumis, aktifis.",
"Aku ingin ikhwan yang jago nulis, puitis, kayak penulis pavoritku.",
"Aku ingin ikhwan yang suaranya bagus, jago nasyid.",
"Yang suka nggambar, suka baca, suka rihlah kayak aku.",
"Yang suaranya bagus, bukan buat nasyid tapi buat tilawah",
"Yang suka nangis..."

Begitulah, seiring berubahnya musim tahun-tahun, ekspektasiku tentang calon suami juga berubah-ubah, meski tak kehilangan sebuah intinya : yang shalih. jiaaah...

Nah gituuu tuh, yang bikin galau bukan tujuh tahunnya, tapi maunya si aku, ingin yang shalih padahal dirinya sendiri belum baik. Bebenah aja dulu, soal ekspektasi, biar Allah yang me-nyata-kan dengan kehendakNya yang pastiii TERBAIK.

Setuju!



06-10-13, jam satu lewat sembilan detik.
Rabb... hilangkan gelisah, lelah, dan 
prasangka yang tak  layak untukMu.
Kami ridha  ya Rabb...