Pages

Selasa, 28 Mei 2013

Perjalanan Genap Din-ku




Dulu aku pernah menjadi saksi sebuah model ta’aruf yang bemula dari dunia maya. Perkenalan itu serius, mengarah ke sebuah pernikahan, terlebih  setelah saling tahu bahwa keduanya adalah ikhwah dalam wadah yang sama. Sejak saat itu, malam-malam al-ukh ditemani telfon dari al-akh, membincang pertanyaan ini itu, sampai pada keinginan al-ukh untuk mendengar lantun tilawah al-akh. Dan aku risih, kutanyakan perihal apa yang mengganjal hatiku pada al-ukh, dengan nada dan ekspresi wajah sedih, ia berkata : “Kami sedang mencoba untuk saling mengenal, jika tidak dengan cara ini, lalu bagaimana bisa?” dan aku hanya terdiam...

Benar, jarak mereka terbentang kota yang berbeda, dan mereka belum pernah bertemu sekalipun... Seperti yang kutahu, bahwa seharusnya perkenalan itu bukan antara orang per orang yang sudah memiliki niat menikah, tapi lebih kepada keluarga dan teman-teman yang tahu pasti kebaikan terlebih keburukan yang sedang ingin kita tahu pribadinya. Tapi tak semua orang mengerti hal ini, banyak sekali kendala jika harus berproses seideal apa yang kusebutkan di atas, terlebih dalam kasus mereka yang baru saja saling mengenal, tak pernah sekalipun bertemu dan kendala keluarga yang masih ‘awam’.

Aku belajar dari peristiwa ini, dan entah kenapa azam agar tak melewati proses ‘komunikasi langsung’ dengan calon pasanganku kelak kian kuat, meski aku amat sadar akan realita yang seringkali tak seideal apa yang diharap. Tapi bukankah do’a adalah pengubah takdir, dari takdir satu ke takdirNya yang lain yang lebih siap kita hadapi?


Rabbi...berkahi pernikahan bahkan saat mula prosesnya, berkah yang membuat hatiku tenang melangkah...

Dan inilah sebagian realita yang ada padaku,

Berkali proses ta’aruf itu kandas, terkadang aku yang menolak, tapi lebih sering aku yang ditolak :D.

Saat aku memutuskan untuk menolak, maka semampuku untuk maksimal beristikharah, bermusyawarah dan berfikir secara lebih mendalam, dan akhirnya, hampir pasti adalah tangis ketakutanku jika keputusaan untuk menolak tak Ia ridhai.

Saat giliranku mendapat penolakan,  beberapa kekecewaan terjadi pada mereka yang terlibat... keluargaku tegas mengatakan kekecewaannya pada sikapku yang seakan tak mau menerima, mungkin karena saat ta’aruf jasadi, aku lebih sering diam, menunduk, dan jika berbicara, intonasiku seperti orang yang ‘merendahkan’, padahal...WAllahi, aku gugup sekali. Seingatku, sepanjang usiaku, tak pernah sekalipun aku berada dalam lingkup kecil yang serius bersama ikhwan, jikapun pernah, pasti hanya saat rapat-rapat organisasi yang serius tapi juga santai karena kalaupun tak berhijab, ruangan kami lumayan luas dan akhwatnya banyak ! Jadi, boleh dibilang aku ini kuper sama ikhwan, tak pandai mengatasi gugup, sehingga ekspresi wajahku pun tak bisa kukendalikan.
Mungkin karena inilah juga si calon menjadi kecewa, apalagi jika sekedar SMS yang dilayangkan untukku pun tak kunjung kubalas, maaf, beribu maaf. Maaf jika karena hal ini kalian menganggapku terlalu idealis, aku tahu kondisi hatiku yang sering tak kondusif untuk niat yang baik, sekecil apapun aku merasakannya. Dan saat SMS itu tertayang, aku merasa bahwa itu adalah ‘ancaman’ yang akan merusak hatiku, maaf...sekali lagi aku memohon maaf, maaf jika caraku menjaga salah...

Begitulah diantara sebabku sering ditolak ikhwan, alasan lainnya adalah fisikku yang tak semampai dan tak secantik pandangan mata ia yang melihat, pun juga karena alasan saklit LUPUS yang pernah kuderita. Ya, terkadang episode hidup ini melukai, tapi sejujurnya, aku lebih senang menerima penolakan ketimbang harus menolak. Aku tak ingin membuat orang lain tersakiti...

Sejak azamku tumbuh, aku lebih menginginkan sosok ikhwan yang tak banyak menginteraksi dalam ta’aruf jelang pernikahanku. Tiba-tiba ia datang menemui keluargaku, mengutarakan niatnya, memberiku kesempatan beristikharah sembari mengenalnya lewat keluarga dan teman-temannya. Ia yang jauh-jauh hari telah memantapkan hati untuk menikah dan mencari informasi tentangku tanpa sedikitpun kutahu.
Dan ini juga pernah terjadi padaku, meski ternyata hanya sebuah kesalahfahaman.

Aku menghargai dia yang menjaga hatiku dengan mengutus seorang temannya -sudah menikah- yang juga temanku ke rumah dan mengutarakan niat. Berbunga-bunga kudapati kabar itu dari kakakku, persis seperti apa yang kuinginkan! Meski nyatanya adalah, si ter-utus terlalu bersemangat dan terburu-buru menyampaikan amanat yang seharusnya adalah untuk mencari informasi hingga beberapa bulan kedepan (entah kapan) dan aku? Memutuskan untuk tak menunggu, lagi-lagi karena aku khawatir kondisi hatiku...Jika proses itu berjalan hingga berbulan bulan lamanya, akankah itu menjadi legalitas ‘pacaran’ atas nama ta’aruf? Aku ngeri...

Dari hatiku yang kutahu teramat kotor ini, yang sedang berusaha kujaga sepenuh mampuku, sekali lagi aku memohon maaf pada keluarga dan kalian yang sempat menjadi bagian episode perjalananku menggenap addin...Aku amat tahu bahwa aku tak sempurna, tak akan pernah! Aku  tak meninggi dengan kondisi fisikku, pun tak lupa sakit yang pernah kurasa, aku bukanlah wanita shalihah, dan samasekali bukan pencari kesempurnaan hingga detail pandangan mata, karena aku pun tahu, sangat tahu bahwa tak pernah ada! Aku hanya seorang yang berusaha agar caraku baik, meski berkali kali awalnya caraku salah, agar caraku membuah ridha dan berkah dariNya... Aku tak ingin menggadai apa yang kuyakini, tapi aku kan tetap belajar, agar selalu husnudzhan itu hadir atas apa yang telah Ia tetapkan....aku kan terus belajar, terus...tak kan sedikitpun berhenti, bahkan sampai ia hadir menemani perjuangan menggapai negeri tanpa letih, menggapai wajahNya yang mulia, dan berkata : “Selamat datang wahai orang-orang yang mencintai karenaKU.”

Aku kan tetap optimis, seperti kata sahabatku “Majulah, habiskan jatah gagalmu!”

Kamis, 23 Mei 2013

Gunung Emas Itu...


Kalian tahu? Gunung itu, tiap lempengnya adalah berharga. Jika kau mengingin secercah emas di tempat lain, kau harus mendulangnya susah payah, sedangkan di gunung itu, bongkahan emas tinggap kau petik sesuka hati. Jangan pernah menjadi bodoh untuk melihat 'lumpur kotor' yang mengalir dari gunung ke kapal-kapal di tengah perairan, jika kau pandai, kau akan tahu : unsur-nsur bernilai utang negara tengah melenggang tenang menuu negeri yang 'ramai angin', ya, melalui lumpur itu !!!

Begitulah kawan, penjelasan guru geografiku di SMP Negeri 30 Bandung yang tentu saja kubumbui kata-kata aneh dari penaku. Hingga saat ini, nyaris sepuluh tahun berlalu dan kata-kata dari guruku itu masih hangat terbincang di benakku, Freeport... betapa aku kagum pada lembut birokrasi yang tak habis mengeksploitasi, bahkan hingga datang kabar tentang sesuatu yang menjadi taqdir pemilik kewarganegaraan ini : mati.

Ah, aku hanya seorang awam yang berimajinasi tentang 'gunung emas' itu... Saat seorang menyodorkan sebongkah kecil yang berkilauan dan berkata : "Ini batuan Freeport yang diambil seorang kerabatku yang bekerja di sana, bukan main sulitnya untuk bisa membawa batu ini keluar, pemeriksaan berlapis!!!". Dan aku seperti seorang materialis yang melotot, terbengong dengan mulut berformasi 'o'. Sebongkah batu penuh bercak yang mengkilap-kilap, dan saat kuraih, berat yang tak sebanding dengan ukurannya membuatku semakin bengong : berat bangeeet.

Dan imajinasi itu mulai terbangun...

Bongkahan itu hanya bagian terkecil dari apa yang disebut guruku sebagai 'gunung emas', si kecil yang mempesona itu adalah serakan dari sesuatu yang lebih besar, jauh lebih besar dan tentusaja jauh teramat mempesona, menawan dan pasti menawarkan harta bernominal besar yang belum bisa kuimajinasikan besarannya, sampai...

"Keluarga korban  terowongan Freeport akan diberi tunjangan Rp. 1M."

Begitulah tagline kabar yang kubaca. Ah, padahal di halaman lain kabar itu...

"Warga korban eksekusi normalisasi waduk akan diberi 25 juta rupiah."
 
Dan aku bertanya-tanya, mungkinkah  negeriku lebih miskin dari si pengeksploitasi itu?
MUSTAHIL !!!
Negeriku tak pernah sedikitpun miskin, jika kau tak percaya, simaklah kata-kata sahabatku yang pernah menelisik si pengeksploitasi dalam sebuah seminar : "Setengah paruh gunung itu, cukup untuk membayar utang negara dan mensejahterakan rakyat.". Dan imajinasiku menuntut data, maka saat keyboard selesai mencatat kata F-R-E-E-P-O-R-T di Google gambar, berderet-deret foto sumur yang berlapis-lapis. Seperti lingkar labirin raksasa, melingkar semakin kecil, dalam dan gelap, dan aku terhenyak, mungkinkah ini gunung emas itu ?

Dan kini, dilingkarnya yang terdalam , manusia-manusia berwarganegara mudzlim -si tereksploitasi- meringkuk, teretak belulang,  menahan nyeri yang perih, bahkan tak sedikit dari mereka yang melolos nyawa, tertunai sudah tugas Izrail.

Tunjangan yang tak seberapa besar labamu sehari, cukupkah membalut luka?
Bukan hanya luka mereka yang berkait erat denganmu, tapi juga luka anak bangsaku yang akan tertoreh semakin dalam setiap kali kabar tentangmu datang, luka bangsaku dibelahan timur dulu, saat kau bodohi  mereka dengan mitos-mitos yang kau langgar sendiri, yang terusir dari tanah pijakan yang seharusnya mensejahterakan. Nanti...saat luka tergenerasi, saat anak cucu bangsa ini bertanya tentangmu, jawabannya kan kian terang

" Dan jika dikatakan kepada mereka 'janganlah berbuat kerusakan di bumi', mereka menjawab 'sesungguhnya kami adalah orang-orang yang membuat perbaikan'. Ingatlah, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar." QS. Al-Baqarah : 11 -12