Pages

Jumat, 22 Maret 2013

Mengamat Jejak Wanita 2

Satu mata air telah lama mengalirkan jernih ilmu pun jua getar-getar dari kuatnya ruhiyah dari Ustadz yang sekaligus menjadi ayah kami di pondok -segala puji selalu dan hanya milikNya- hingga saat ini kami masih bisa mereguk bening itu. Lalu di tengah dahaga yang lain, kami menemukan kembali dua mata air ...satu mata air itu tumpah ruah, membuat kami dengan dengan sukarela terjun, berenang dan menyelami isinya, mata air itu membuat nyala harapan kami agar kelak mengerti kalamNya. Dan mata air yang satunya adalah mata air yang benar-benar kami rindukan, barusaja kami menciduk air itu, mnyeruputnya hingga merasakan begitu istimewanya kami : Bahkan fiqh pun memuat bahasan khusus tentang kami.
Namun,

-----

Pondok kami baru saja berusia dua tahun ditambah beberapa bulan, jika ia teribarat sebuah kehidupan, maka ia adalah bayi yang yang teramat ingin tahu akan banyak hal, mencoba segala jenis cara untuk bisa berguling, merangkak kemudian tergopoh-gopoh meniti jalan menggapai rentang bahagia dipelukan sang bunda. Pun jua kami di sini, berkumpul dari bebagai daerah dengan satu cita yang sama : Terus belajar memperbaiki diri, mengumpul materi untuk membeli sebuah kado teristimewa bagi orangtua kami di yaumil akhir kelak, dan tentu saja menggapai ridhoNya. Maka dengan segala cara kami bergerak, berjuang membangun sebuah lingkungan kondusif dan penuh kajian keilmuan, meski tentu saja jatuh bangun perjalanannya sering terjadi, terlebih dalam pencarian tenaga pengajar yang luar biasa sulit. 

Posisiku sebagai ujung piramida terbalik di pondok membuatku turut bertanggung jawab atas kekosongan pengajar, maka sejak saat itu aku mulai melobi beberapa ustadzah di Al-Imarat agar berkenan membagi ilmunya.

Ustadzah Sarah yang supel adalah sasaran pertamaku, beliau menyanggupi namun pertemuan yang seharusnya menjadi kali pertama pembelajaran kami tertunda karena anak beliau sakit, kemudian tugas mengajar itu dialihkan kepada ustadzah Rahma, beberapa kali pertemuan itu berlangsung dan kami jatuh hati pada cara mengajarnya, belajar bahasa arab menjadi sangat menyenangkan, kami semua selalu menanti-nanti datangnya sabtu siang, menanti wajah bermata sipit yang sering kali hilang karena menertawakan kemampuan bahasa Arab kami.

Alhamdulillaah....

Kajian fiqhunnisaa perdana, membuat kami takjub, belum sampai pembahasan dimulai, namun perkenalannya saja telah melahap tiap sudut putih papan tulis kami. Hingga berakhir kajian perdana itu kami masih terbengong-bengong namun bersemangat menanti kejutan lain dipertemuan berikutnya.

Minggu berikutnya, kajian bahasa Arab berlangsung tetap seru. Kajian fiqhunnisaa di pertemuan kedua belum kami mulai, berhubung kepentingan dari ustadzah  yang tak bisa ditinggalkan. Minggu berikutnya kembali dengan kecerian kami berbahasa Arab yang masih saja belepotan, begitu seterusnya dan absensi fiqhunnisaa masih bertahan di pertemuan pertama.

Kabar dari seorang guruku membuatku tak tentu rasa, di sebrang sana beliau membincang keputusannya untuk mundur dari pengajaran fiqhunnisaa di pondokku karena telah dipinang kembali untuk mengajar di Al-Imarat setelah beberapa waktu lamanya beliau berkonsentrasi mengurus buah hatinya yang pertama.

Kabar berikutnya membuatku semakin tak menentu, guru bahasa Arab kami yang benar-benar menyenangkan pun juga turut mundur karena telah dipinang oleh yayasan dibawah bimbingan ustadz Yusuf Mansur.

Baru saja geliat semangat kami mengecambah, namun ujian bertubi itu datang. Kami masih ingin tersirami beningnya ilmu, kami masih ingin merasai pupuk dari pengalaman 'petaninya', kami masih ingin menikmati sintesis cahaya dari pancar ikhlas 'penanamnya', namun begitulah cara Allah mendidik kami dalam bersabar dan mengambil hikmah meski sangat sulit.

Kabar ustadzah Rahma kemudian kembali hadir, beliau yang belum menikah, sejak mula kelulusannya dari Al-Azhar Mesir telah diharap oleh sang bunda untuk mengamal ilmu di Daarul Quran bersama kakaknya yang telah lama mengabdi

Sedangkan ustadzah fiqhunnisaa kami, beliau kembali mengajar di Al-Imarat, namun tak berapa lama, anaknya sakit dan beliaupun kemudian memutuskan untuk tak lagi mengajar.

Meski dahaga kami kini semakin menjadi, kami belajar mengambil hikmah dan berhusnudzhan dari setiap kejadian: Sebagai wanita, terkadang kami pun tak memiliki banyak pilihan, disaat belum menikah, seorang wanita sering memikirkan bagaimana pendapat orang tua, pun ketika setelah menikah ia _sepengamatku_ kadang terikat dengan pendapat suami dan kondisi anak-anak yang menjadi amanahnya dalam menjalankan peran sebagai madrasah pertama.

Yaa ayyuhalladziina aamanuu in tansurullaaha yansurkum wa yutsabbit aqdaamakum (QS. Muhammad : 7)

Rabbi...luruskan niat kami untuk menolong agamaMu, agar kami sabar dalam setiap ujian, agar senyum syukur kami tetap terkembang disetiap nikmat, agar kami yakin dengan janjiMu....

"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu" (QS. Muhammad : 7)







Jumat, 08 Maret 2013

Mengamat Jejak Wanita 1

Ia berteriak, membuka paksa kain penutup kepalanya yang menjuntai lebar, lalu menangis sejadinya...usianya baru enam belas tahun, namun usia itulah yang mengkhawatirkan hampir seluruh anggota keluarga, kebanyakan saudaranya telah menikah, atau mungkin dinikahkan lebih tepatnya di usia mereka yang baru saja baligh, empat belas tahun! Maka hari itu, sang ukhty menghiba di kamar asramanya, seminggu lagi sebuah akad sakral akan mengganti statusnya, undangan tersebar, seluruh persiapan telah nyaris sempurna, dan ia baru saja diberi tahu!


لاَ تُنْكحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ . رواه البخاري ومسلم، والترمذي، وأبو داود والنسائي،

"Tidaklah dinikahkan seorang janda hingga ia bermusyawarah (dimintai pendapatnya), dan tidak pula dinikahkan seorang gadis hingga ia memberi izinnya. Bagaimana meminta izinnya ya Rasulallaah? dengan diamnya."

Dari hadits ini, beberapa ulama membolehkan seorang wali menikahkan anak gadisnya tanpa sepengetahuan anaknya tersebut.

Ah kawan, aku tak ingin banyak pandang akan hal ini, aku bukan faaqih yang layak membincangkannya panjang lebar, aku hanya penonton realita di sekitarku. Bagaimana penyikapan seorang wanita saat tahu dirinya telah dinikahkan tanpa apapun persiapan pribadinya, aku hanya penonton yang turut menggemas kesal kabar itu, turut khawatir akan masa depan bersama ia yang tak pernah sama sekali kita tahu, turut murung saat pelaminan itu menjadi pijakan bersama ia yang telah sah menjadi nahkoda kita.

Hingga kabar itu tak lagi rencana, langkah hari membawa kabar lain tentang sepasang pegantin baru, kabar yang jelas membuat kejutan buatku, plus heran yang bertumpuk tumpuk. Obrolan lewat telpon itu ringan, ringan sekali, suara dan tawanya renyah, sampai saat pertanyaan akan keberadaan suaminya ia tersipu "Ia disampngku". Aaaah, aku tak mengerti kenapa perubahan itu drastis sekali.

Ini cerita tentang ukhty yang lain kawan,

Pertemuan pertama dengan seorang al-akh yang menjadi teman organisasinya, ternyata menumbuh niat di hati al-akh untuk menghkitbahnya. Masa organisasi berakhir, namun peremuan itu kembali di sebuah pemeran buku, mantaplah niat menjelma ikhtiar yang gigih karena si ukhty tak sama sekali berniat menikah. Al-akh benar-benar gigih, sahabatku itu kemudian luluh, menyerah pada keinginannya untuk tak dulu menikah, dan di pelaminan itu keduanya bahagia.

Begitulah kawan, sekokoh apapun benteng seorang wanita, ia tetaplah sesosok kerinduan akan simpati, jangan pernah menggoyah benteng itu jika tak sepenuh aneka kesiapan kau miliki.

Ia sosok pemalu bahkan pada ayah dan kakeknya sendiri, maka begitulah Nabi kabarkan izinnya "dengan diamnya".

Hmmm, aku kagum pada Bunda, Bunda Khadijah adalah satu-satunya dari sekian milyar wanita yang menempatkan rasa malu pada tempat yang benar-benar sempurna dan di saat yang benar-benar sempurna. Ialah satu-satunya wanita dengan kesiapan terbaik yang berharap lelaki terbaik.

Suatu saat kutanyakan pada guruku, "Jika seorang perempuan mengkhitbah seorang lelaki bagaimana?", jawabanya serius sekali "Hal itu bukanlah masalah, karena yang kita khitbah pasti tidak sebaik Rosulullah", dari jawabannya aku jadi bertanya-tanya, jika hal itu terjadi padaku??? Ah, aku tak sebaik Bunda Kadijah, bahkan langkah awal perubahan besarnya pun belum bisa kujejaki...


ghurfatudduyuuf, sulit sekali memuat tulisan ini...